TENTANG PHINISITanah
beru, tanah leluhur para arsitek perahu Pinisi. Di tanah inilah
Panrita Lopi melahirkan karya besar mereka. Menciptakan perahu yang
hingga saat ini masih melayari pesisir pantai nusantara. Dimuali dari
awal sejarah Bugis klasik hingga zaman cybernetic perahu Pinisi tetap
anggun meniti arus, membelah ombak menggapai pantai tujuan. Masih segar
dalam ingatan ketika pinisi Amanagappa dengan gagah berlayar ke
semenanjung Madagaskar. Juga Hati Herage dan Damarsagara yang berlayar
ke Australia dan Jepang. Seolah ingin memperlihatkan pada dunia bahwa
inilah anak bangsa yang telah menoreh kisah dalam lontara zaman
berzaman. Sejenak, ingin rasanya berada di Bonto Bahari dan menyaksikan
kepiawaian pencipta perahu-perahu handal yang dengan mahir melahirkan
karya besar mereka. Sungguh, tidak berlebihan jika dikatakan bahwa
setiap jengkal badan perahu sarat dengan nilai falsafah.
Perahu pinisi dari zaman dahulu hingga saat ini telah menorehkan kisah panjang. Pinisi telah menjelma menjadi armada perang, kapal angkut barang dagangan hingga kapal pesiar yang dilengkapi peralatan mewah sekelas hotel berbintang. Seperti apakah sesungguhnya perahu ini dilahirkan, berikut sekelumit gambaran tentang proses pebuatan perahu pinisi yang terkenal handal dalam arung samudra.
SEJARAH PHINISI
Berawal dari mitologi dan kepercayaan masyarakat terhadap sosok Sawerigading yang berlayar dari tanah luwu untuk mempersunting seorang putri bernama We Codai. Keberangkatan Sawerigading ini berlayar menggunakan sebuah kapal yang terbuat dari sebuah pohon bernama Welenreng. Pohon ini ditempah untuk dijadikan perahu yang akan digunakan oleh Sawerigading dalan pelayarannya. Namun, perahu ini diterpa badai dan akhirnya pecah. Bagian perahu yang telah hancur ini kemudian terdapar di tiga tempat, bagian haluan dan buritan terdampar di Lemo-lemo. Bagian lambung kapal terdampar di sebuah desa bernama Ara dan layarnya terdampar di Bira. Oleh masyarakat ketiga daerah ini mengumpulkan puing puing perahu Sawerigading dan mereka ulang bentuknya.
Dari sinilah awal munculnya mitologi bahwa ketiga daerah tersebut memiliki keahlian spesifik berdasarkan temuan puing-puing kapal tersebut. Orang Bira yang diyakini mendapatkan layar kelak memiliki keterampilan berlayar dan navigasi. Orang Ara memiliki kemampuan spesifik dalam pembuatan lambung kapal dan sebaliknya orang Lemo-lemo lebih mahir membuat haluan dan buritan perahu. Ketiga daerah ini berada di Kecamatan Bontobahari, Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan,yang kemudian tersohor sebagai pembuat perahu pinisi.
Pada awal abad ke-18 para pelaut Bira menakhodai pinisi padewakang hingga ke pantai utara Australia demi memburu teripang kualitas terbaik. Padewakang yang mampu membawa muatan hingga 140 ton berkeliling menghimpun barang dari berbagai pelosok Nusantara; rotan, lilin, agar-agar, sirip hiu, kulit, daging kering, kulit penyu, sarang burung, dan tikar rotan; dan menjualnya kepada saudagar kapal jung dari China. Guncangan politik lokal tahun 1950-an, kelangkaan kayu, dan perkembangan teknologi kapal motor membuat kejayaan Semenanjung Bira memudar. Namun, punggawa Semenanjung Bira menolak menyerah.
Thomas Gibson dalam bukunya, Kekuasaan Raja, Syaikh, dan Ambtenaar-Pengetahuan Simbolik & Kekuasaan Tradisional Makassar 1300–2000 (Penerbit Ininnawa, 2009), mengurai diaspora tukang kapal Desa Ara dan Lemo-lemo yang meninggalkan Semenanjung Bira demi melanjutkan jalan hidup mereka sebagai punggawa pinisi.
Menurut Gibson, punggawa Desa Lemo-lemo sejak awal abad ke-19 mulai meninggalkan Semenanjung Bira, punggawa pinisi di mana-mana. ”(Sementara) para pembuat perahu Desa Ara (hingga awal 1950-an tetap) bergantung kepada saudagar kaya di Bira … (Namun) pemberontakan Darul Islam (membuat) pangkalan perahu di Bira dan Bone ditutup … Para punggawa (Desa Ara) mulai (pergi dan) membuka kontak dengan saudagar Tionghoa di seluruh Indonesia. Mereka kembali ke Ara, merekrut awak pembuat kapal (yang lantas dibawa ke) tempat para pemesan. Di Pulau Laut, Kalimantan Selatan, dibangun perahu yang bobotnya hingga 600 ton,” tulis Gibson.
Gibson mencatat, pada 1988 koloni orang Ara tersebar di Indonesia. Mulai dari Jampea, Selayar, Sulawesi Selatan; Merauke dan Sorong di Papua; Kupang di Nusa Tenggara Timur; Ambon dan Ternate di Kepulauan Maluku; Tarakan, Balikpapan, Batu Licin, Kota Baru, Banjarmasin, Sampit, Kuala Pembuangan, Kumai, dan Pontianak di Kalimantan; Jakarta; Surabaya; hingga Belitung, Palembang, dan Jambi di Sumatera.
PROSES PEMBUATAN PHINISI
1. Proses Pencarian Bahan Dasar
Proses pencarian kayu yang menjadi bahan dasar pembuatan kapal pinisi diawali dengan penentuan hari baik yang dipandang menguntungkan. Lazimnya, hari ini dipilih pada hari ke lima dan ketujuh bulan berjalan. Penentuan hari ini didasari oleh nilai filosofi yakni jika hari kelima maka itu berarti Naparilimai dale’na. Lima dalam bahasa bugis berarti angka lima yang juga berarti telapak tangan. Naparilimai dale’na dapat dimaknakan dale’ atau rezeki diharapkan nantinya akan berada ditelapak tangan. Atau dengan makna lain rezeki mudah dicari jika kelak perahu yang akan dibuat dimanfaatkan untuk mencari rezeki atau keuntungan. JIka dipilih hari ketujuh, maka itu berarti Natujuangenggi dalle’na. Natujuang dalam bahasa Bugis berarti diniatkan atau dapat pula berarti didapatkan. Natujuangenggi dalle’na memberi makna kemudahan dalam memperoleh dalle’ (rezeki) atau apa saja yang menjadi niat dihati maka apa yang diniatkan itu mudah didapatkan.
2. Pemilihan pohon atau kayu yang akan dijadikan bahan dasar
Pemilihan kayu juga tidak dapat dilakukan secara serampangan, tapi dengan melalui proses pemilihan dengan penyelenggaraan ritual tertentu. Biasanya diawali dengan pemotongan ayam dan permintaan izin agar penghuni pohon atau makhluk halus yang diyakini mendiami pohon tersebut memberikan izin agar kayu tersebut dapat dimanfaatkan untuk pembuatan perahu. Proses pemotongan ini juga harus dilaksanakan sekaligus, tidak boleh berhenti dikerjakan sebelum pohonnya tumbang. Karenanya, proses pemotongan yang lazimnya menggunakan gergaji dilakukan oleh laki-laki yang berbadan kuat.
3. Pemotongan Lunas
Pemotongan kayu untuk dijadikan lunas juga memiliki aturan tersendiri. Kayu bagian ujung yang dipotong dan tidak dapat dimanfaatkanakan dibuang kelaut. Proses pengantaran bagian ujung ini juga tidak boleh menyentuh tanah hingga kemudian dibuang kelaut. Upacara pengantaran ini lazim disebut ritual annattara. Bagian yang dibuang ini melambangkan laki-laki yang melaut untuk mencari nafkah atau juga dapat diartikan sebagai penolak bala. Selanjutnya potongan bagian belakang akan disimpan dirumah, sebagai symbol seorang istri yang menanti kedatangan suami yang sedang mencari nafkah dengan melaut.
4. Penentuan pusat perahu
Penentuan bagian yang menjadi pusat perahu atau ini lebih menitik beratkan pada nilai filosofis yang terkandung didalamnya, yakni melambangkan kelahiran bayi perahu. Selanjutnya proses pengerjaan perahu dilaksanakan dengan dikomandani oleh seorang Ponggawa. Ponggawa ini pulalah yang bertanggungjawab terhadap proses pembuatan perahu secara teknis hingga selesai.
5. Proses penyelesaian (finshing)
Proses selanjutnya adalah menyiapkan teras dan buritan perahu yang menjadi badan perahu. Proses ini diawali dengan pemasangan lunas perahu yang kemudian dusul dengan pemasangan linggi depan dan linggi belakang. Barulah kemudian jika selesai disusul pemasangan papan yang menjadi diding lambung perahu. Secara berurut juga dipasang tulang dan gading perahu. Setelah proses pemasangan gading ini selesai perahu dipasangi balok-balok dinding dan dek. Jika semuanya rampung menyusul kamar perahu yang akan dikerjakan. Namun, perlu dijadikan catatan dalam proses pembuatan dan pemasangan beberapa bagian perahu, juga dikerjakan perekatan antara bagian yang menjadi komponen perahu. Perekatan ini dilakukan dengan memanfaatkan kulit pohon Barru dan dempul yang terbuat dari kapur dan minyak kelapa.
Seperti diketahui bahwa proses pembuatan kapal dikomandani oleh seorang punggawa atau orang yang mengerti tentang pembuatan perahu secara tekhnis. Punggawa ini kemudian memiliki tanggung jawab terhadap pembagian kerja yang dilaksanakan oleh para pembatu atau pekerja yang disebut Sawi. Disamping itu seorang punggawa juga ditutut mampu memberikan pengarahan dan pengetahuan kepada para sawi sebagai pelaksana teknis. Sawi sendiri secara khusus sulit diketahui kemampuannya selain keterlibatannya sebagai pekerja dalam proses pembuatan perahu hingga selesai.
Setelah sebuah perahu pinisi selesai dikerjakan barulah prosesi penurunan kapal kelaut diselenggarakan. Upacara adat juga digelar dalam rangka penurunan kapal tersebut.
“Bismillahir Rahmanir Rahim BuIu-bulunnako buttaya, patimbonako bosiya, kayunnako mukmamulhakim, laku sareang Nabi Haidir” Demikian kalimat yang berisi doa dan harapan terhadap awal pelayaran mengawali perahu pinisi diluncurkan. Proses penurunan perahu ke laut disamping diiringi doa juga diselenggarakan helatan berupa penyembelihan hewan (sapi) sebagai rasa syukur atas terlaksananya pembuatan perahu tersebut.
In English
ABOUT Phinisi
Tanah Beru, ancestral home of the architect Pinisi boat. In this land of birth Lopi Panrita their great work. Creating the boat is still sailing the coast of the archipelago. Dimuali from the classical to the early history of the Bugis boat Pinisi cybernetic era still pursue a graceful flow, splitting the waves reach shore destination. Still fresh in your mind when pinisi Amanagappa bravely sailed to Madagascar peninsula. Liver also Herage and Damarsagara who sailed to Australia and Japan. As if to show the world that this nation who had fetched the story in lontara berzaman era. For a moment, wishing it was in Bonto Bahari and watch the expertise of the creator of the powerful boats with skilled birth of their works. Really, no exaggeration to say that every inch of the body boat loaded with the value philosophy.
Pinisi boat from ancient times until today has been incised long story. Pinisi has been transformed into a war fleet, the ship carrying merchandise up to a yacht equipped with luxury equipment class hotels. As to whether the boat actually was born, following a bit of an overview of the process pebuatan pinisi famous boat in whitewater ocean reliable.
HISTORY Phinisi
Starting from mythology and public trust in the person who set sail from the ground Sawerigading Luwu to marry a princess named We Codai. This Sawerigading departure sailed on a ship made from a tree named Welenreng. This tree is ditempah to be the boat to be used by Sawerigading role in seafaring. However, the boat was buffeted by a storm and finally broke. Part of this boat has been destroyed then terdapar in three places, the bow and stern stranded at Lemo-Lemo. Part hull stranded in a village called Ara and screen stranded in Bira. By the three communities of this area to collect debris Sawerigading boats and their re-shape.
From this beginning of the mythology that all three of these areas has specific expertise based on the findings of the debris of the ship. Bira people are believed to get the screen someday have the sailing and navigational skills. Ara person has specific skills in the manufacture of the hull and vice versa Lemo-Lemo people more adept at making the bow and stern of the boat. These three areas are located in the District Bontobahari, Bulukumba, South Sulawesi, which was then famous as the boat maker pinisi.
In the early 18th-century sailors Bira menakhodai pinisi padewakang to the north coast of Australia for hunting down the best quality cucumbers. Padewakang capable of carrying loads up to 140 tons of rounds to collect the goods from all over the archipelago; rattan, wax, gelatin, shark fins, skins, dried meat, tortoiseshell, bird nests, and rattan mats, and sell them to merchants junks from China . Local political shocks in the 1950s, the scarcity of wood, and technological developments make motor boat faded glory Bira Peninsula. However, retainer Peninsula Bira refused to surrender.
Thomas Gibson in his book, Power King, Shaikh, and Ambtenaar-Symbolic Knowledge & Power Traditional Makassar 1300-2000 (Ininnawa Publishers, 2009), parse diaspora ship builders and the village of Ara-Lemo Lemo who left the Peninsula Bira for continuing their way of life as a courtier pinisi.
According to Gibson, retainer Lemo-Lemo village since the beginning of the 19th century began to leave the Peninsula Bira, courtier pinisi everywhere. "(While) the boat maker Ara Village (until the early 1950s remains) depend on the rich merchants in Bira ... (But) the Darul Islam rebellion (make) the boat base was closed in Bira and Bone ... The courtier (Desa Ara) started (go and) open up contacts with Chinese merchants all over Indonesia. They returned to Ara, recruit crew shipbuilders (which is then taken to a) where the buyer. At Pulau Laut, South Kalimantan, built a boat that weighs up to 600 tons, "wrote Gibson.
Gibson noted, in 1988 a colony of Ara spread in Indonesia. Starting from Jampea, Selayar, South Sulawesi; Merauke and Sorong in Papua; Kupang in East Nusa Tenggara; Ambon and Ternate in the Maluku Islands; Tarakan, Balikpapan, Slippery Rock, New City, New York, Sampit, Kuala Disposal, Kumai, and Pontianak in Kalimantan; Jakarta Surabaya; to Belitung, Palembang and Jambi in Sumatra.
Phinisi MAKING PROCESS
1. Search Process Basic Materials
Search process the wood into the manufacture of ships pinisi good day begins with a determination that is deemed profitable. Typically, this day was chosen on the day of the fifth and seventh month running. Determination of today is based on the value of philosophy is, if the fifth day then that means Naparilimai dale'na. Five in the Bugis language means the number five which also means the palm of the hand. Naparilimai dale'na can dimaknakan dale 'or sustenance expected will be zip hand. Or in other meanings are easy to find sustenance for any future use of boats will be made to seek sustenance or profit. If elected the seventh day, then that means Natujuangenggi dalle'na. Natujuang in Bugis language means intended or could also mean obtained. Natujuangenggi dalle'na give meaning to the ease in obtaining Dalle '(sustenance) or whatever the intention of the heart in what is intended is easily obtained.
2. Selection of trees or timber to be used as base material
Selection of wood also can not be done haphazardly, but with the election process with the implementation of certain rituals. Usually begins with cutting the chicken and request permission for tree-dwelling or spirits believed to inhabit the tree gives permission for the timber can be used for boat building. This cutting process must also be implemented at once, should not stop work before the tree fell. Therefore, a process that typically uses the saw cuts made by men who physically strong.
3. Cutting Lunas
Cutting the wood to be paid also has its own rules. The tip of the cut wood and can not be discarded dimanfaatkanakan sea. The tip of the delivery process is also not allowed to touch the ground until then discarded sea. Delivery ceremony is commonly called a ritual annattara. It symbolizes the part disposed men who go to sea for a living or can also be interpreted as a repellent reinforcements. The next piece of the back will be stored at home, as a symbol of a wife who awaits the arrival of her husband who was living by the sea.
4. Determination of the center of the boat
Determination of the center of the boat or are more focused on the philosophical values contained therein, which symbolizes the birth of a baby boat. Next working processes carried out by boat, commanded by a Ponggawa. Ponggawa is precisely responsible for the technical process of making boat to finish.
5. Settlement process (finshing)
The next process is to prepare the terrace and the stern of the boat into the boat body. This process begins with the installation of keel boat which was then dusul with the installation linggi linggi front and rear. It was only then if the finished boards are to be followed by installation of a boat hull Diding. Sequential bone and ivory are also fitted boats. After the installation process is complete ivory boat fitted with blocks of the wall and deck. If everything is completed following the boat room to be done. However, it should be a record in the process of manufacture and installation of some parts of the boat, also worked adhesion between the component parts of the boat. Gluing is done by using tree bark Barru and putty made of lime and coconut oil.
As it is known that the process of making the ship commanded by a retainer or people who know about boat building technically. This courtier then have the responsibility of the division of work undertaken by the pembatu or workers who are called mustard. Besides, a retainer ditutut also able to provide guidance and knowledge to the mustard as technical implementers. Mustard itself is particularly difficult to know his ability as a worker in addition to his involvement in the process of making boat to finish.
After a completed pinisi boat procession then drop ship conducted sea. Ceremonies are also held in order to drop ship.
"Bismillahir Rahmanir-Rahim BuIu bulunnako buttaya, patimbonako bosiya, kayunnako mukmamulhakim, behavior sareang Prophet Haidir" Similarly, a sentence that contains the prayers and hopes to begin shipping early pinisi boat was launched. Loss process in addition to boat out to sea accompanied by the form of prayer is also held helatan slaughter of animals (cows) as gratitude for the implementation of the manufacture of the boat.
Perahu pinisi dari zaman dahulu hingga saat ini telah menorehkan kisah panjang. Pinisi telah menjelma menjadi armada perang, kapal angkut barang dagangan hingga kapal pesiar yang dilengkapi peralatan mewah sekelas hotel berbintang. Seperti apakah sesungguhnya perahu ini dilahirkan, berikut sekelumit gambaran tentang proses pebuatan perahu pinisi yang terkenal handal dalam arung samudra.
SEJARAH PHINISI
Berawal dari mitologi dan kepercayaan masyarakat terhadap sosok Sawerigading yang berlayar dari tanah luwu untuk mempersunting seorang putri bernama We Codai. Keberangkatan Sawerigading ini berlayar menggunakan sebuah kapal yang terbuat dari sebuah pohon bernama Welenreng. Pohon ini ditempah untuk dijadikan perahu yang akan digunakan oleh Sawerigading dalan pelayarannya. Namun, perahu ini diterpa badai dan akhirnya pecah. Bagian perahu yang telah hancur ini kemudian terdapar di tiga tempat, bagian haluan dan buritan terdampar di Lemo-lemo. Bagian lambung kapal terdampar di sebuah desa bernama Ara dan layarnya terdampar di Bira. Oleh masyarakat ketiga daerah ini mengumpulkan puing puing perahu Sawerigading dan mereka ulang bentuknya.
Dari sinilah awal munculnya mitologi bahwa ketiga daerah tersebut memiliki keahlian spesifik berdasarkan temuan puing-puing kapal tersebut. Orang Bira yang diyakini mendapatkan layar kelak memiliki keterampilan berlayar dan navigasi. Orang Ara memiliki kemampuan spesifik dalam pembuatan lambung kapal dan sebaliknya orang Lemo-lemo lebih mahir membuat haluan dan buritan perahu. Ketiga daerah ini berada di Kecamatan Bontobahari, Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan,yang kemudian tersohor sebagai pembuat perahu pinisi.
Pada awal abad ke-18 para pelaut Bira menakhodai pinisi padewakang hingga ke pantai utara Australia demi memburu teripang kualitas terbaik. Padewakang yang mampu membawa muatan hingga 140 ton berkeliling menghimpun barang dari berbagai pelosok Nusantara; rotan, lilin, agar-agar, sirip hiu, kulit, daging kering, kulit penyu, sarang burung, dan tikar rotan; dan menjualnya kepada saudagar kapal jung dari China. Guncangan politik lokal tahun 1950-an, kelangkaan kayu, dan perkembangan teknologi kapal motor membuat kejayaan Semenanjung Bira memudar. Namun, punggawa Semenanjung Bira menolak menyerah.
Thomas Gibson dalam bukunya, Kekuasaan Raja, Syaikh, dan Ambtenaar-Pengetahuan Simbolik & Kekuasaan Tradisional Makassar 1300–2000 (Penerbit Ininnawa, 2009), mengurai diaspora tukang kapal Desa Ara dan Lemo-lemo yang meninggalkan Semenanjung Bira demi melanjutkan jalan hidup mereka sebagai punggawa pinisi.
Menurut Gibson, punggawa Desa Lemo-lemo sejak awal abad ke-19 mulai meninggalkan Semenanjung Bira, punggawa pinisi di mana-mana. ”(Sementara) para pembuat perahu Desa Ara (hingga awal 1950-an tetap) bergantung kepada saudagar kaya di Bira … (Namun) pemberontakan Darul Islam (membuat) pangkalan perahu di Bira dan Bone ditutup … Para punggawa (Desa Ara) mulai (pergi dan) membuka kontak dengan saudagar Tionghoa di seluruh Indonesia. Mereka kembali ke Ara, merekrut awak pembuat kapal (yang lantas dibawa ke) tempat para pemesan. Di Pulau Laut, Kalimantan Selatan, dibangun perahu yang bobotnya hingga 600 ton,” tulis Gibson.
Gibson mencatat, pada 1988 koloni orang Ara tersebar di Indonesia. Mulai dari Jampea, Selayar, Sulawesi Selatan; Merauke dan Sorong di Papua; Kupang di Nusa Tenggara Timur; Ambon dan Ternate di Kepulauan Maluku; Tarakan, Balikpapan, Batu Licin, Kota Baru, Banjarmasin, Sampit, Kuala Pembuangan, Kumai, dan Pontianak di Kalimantan; Jakarta; Surabaya; hingga Belitung, Palembang, dan Jambi di Sumatera.
PROSES PEMBUATAN PHINISI
1. Proses Pencarian Bahan Dasar
Proses pencarian kayu yang menjadi bahan dasar pembuatan kapal pinisi diawali dengan penentuan hari baik yang dipandang menguntungkan. Lazimnya, hari ini dipilih pada hari ke lima dan ketujuh bulan berjalan. Penentuan hari ini didasari oleh nilai filosofi yakni jika hari kelima maka itu berarti Naparilimai dale’na. Lima dalam bahasa bugis berarti angka lima yang juga berarti telapak tangan. Naparilimai dale’na dapat dimaknakan dale’ atau rezeki diharapkan nantinya akan berada ditelapak tangan. Atau dengan makna lain rezeki mudah dicari jika kelak perahu yang akan dibuat dimanfaatkan untuk mencari rezeki atau keuntungan. JIka dipilih hari ketujuh, maka itu berarti Natujuangenggi dalle’na. Natujuang dalam bahasa Bugis berarti diniatkan atau dapat pula berarti didapatkan. Natujuangenggi dalle’na memberi makna kemudahan dalam memperoleh dalle’ (rezeki) atau apa saja yang menjadi niat dihati maka apa yang diniatkan itu mudah didapatkan.
2. Pemilihan pohon atau kayu yang akan dijadikan bahan dasar
Pemilihan kayu juga tidak dapat dilakukan secara serampangan, tapi dengan melalui proses pemilihan dengan penyelenggaraan ritual tertentu. Biasanya diawali dengan pemotongan ayam dan permintaan izin agar penghuni pohon atau makhluk halus yang diyakini mendiami pohon tersebut memberikan izin agar kayu tersebut dapat dimanfaatkan untuk pembuatan perahu. Proses pemotongan ini juga harus dilaksanakan sekaligus, tidak boleh berhenti dikerjakan sebelum pohonnya tumbang. Karenanya, proses pemotongan yang lazimnya menggunakan gergaji dilakukan oleh laki-laki yang berbadan kuat.
3. Pemotongan Lunas
Pemotongan kayu untuk dijadikan lunas juga memiliki aturan tersendiri. Kayu bagian ujung yang dipotong dan tidak dapat dimanfaatkanakan dibuang kelaut. Proses pengantaran bagian ujung ini juga tidak boleh menyentuh tanah hingga kemudian dibuang kelaut. Upacara pengantaran ini lazim disebut ritual annattara. Bagian yang dibuang ini melambangkan laki-laki yang melaut untuk mencari nafkah atau juga dapat diartikan sebagai penolak bala. Selanjutnya potongan bagian belakang akan disimpan dirumah, sebagai symbol seorang istri yang menanti kedatangan suami yang sedang mencari nafkah dengan melaut.
4. Penentuan pusat perahu
Penentuan bagian yang menjadi pusat perahu atau ini lebih menitik beratkan pada nilai filosofis yang terkandung didalamnya, yakni melambangkan kelahiran bayi perahu. Selanjutnya proses pengerjaan perahu dilaksanakan dengan dikomandani oleh seorang Ponggawa. Ponggawa ini pulalah yang bertanggungjawab terhadap proses pembuatan perahu secara teknis hingga selesai.
5. Proses penyelesaian (finshing)
Proses selanjutnya adalah menyiapkan teras dan buritan perahu yang menjadi badan perahu. Proses ini diawali dengan pemasangan lunas perahu yang kemudian dusul dengan pemasangan linggi depan dan linggi belakang. Barulah kemudian jika selesai disusul pemasangan papan yang menjadi diding lambung perahu. Secara berurut juga dipasang tulang dan gading perahu. Setelah proses pemasangan gading ini selesai perahu dipasangi balok-balok dinding dan dek. Jika semuanya rampung menyusul kamar perahu yang akan dikerjakan. Namun, perlu dijadikan catatan dalam proses pembuatan dan pemasangan beberapa bagian perahu, juga dikerjakan perekatan antara bagian yang menjadi komponen perahu. Perekatan ini dilakukan dengan memanfaatkan kulit pohon Barru dan dempul yang terbuat dari kapur dan minyak kelapa.
Seperti diketahui bahwa proses pembuatan kapal dikomandani oleh seorang punggawa atau orang yang mengerti tentang pembuatan perahu secara tekhnis. Punggawa ini kemudian memiliki tanggung jawab terhadap pembagian kerja yang dilaksanakan oleh para pembatu atau pekerja yang disebut Sawi. Disamping itu seorang punggawa juga ditutut mampu memberikan pengarahan dan pengetahuan kepada para sawi sebagai pelaksana teknis. Sawi sendiri secara khusus sulit diketahui kemampuannya selain keterlibatannya sebagai pekerja dalam proses pembuatan perahu hingga selesai.
Setelah sebuah perahu pinisi selesai dikerjakan barulah prosesi penurunan kapal kelaut diselenggarakan. Upacara adat juga digelar dalam rangka penurunan kapal tersebut.
“Bismillahir Rahmanir Rahim BuIu-bulunnako buttaya, patimbonako bosiya, kayunnako mukmamulhakim, laku sareang Nabi Haidir” Demikian kalimat yang berisi doa dan harapan terhadap awal pelayaran mengawali perahu pinisi diluncurkan. Proses penurunan perahu ke laut disamping diiringi doa juga diselenggarakan helatan berupa penyembelihan hewan (sapi) sebagai rasa syukur atas terlaksananya pembuatan perahu tersebut.
In English
ABOUT Phinisi
Tanah Beru, ancestral home of the architect Pinisi boat. In this land of birth Lopi Panrita their great work. Creating the boat is still sailing the coast of the archipelago. Dimuali from the classical to the early history of the Bugis boat Pinisi cybernetic era still pursue a graceful flow, splitting the waves reach shore destination. Still fresh in your mind when pinisi Amanagappa bravely sailed to Madagascar peninsula. Liver also Herage and Damarsagara who sailed to Australia and Japan. As if to show the world that this nation who had fetched the story in lontara berzaman era. For a moment, wishing it was in Bonto Bahari and watch the expertise of the creator of the powerful boats with skilled birth of their works. Really, no exaggeration to say that every inch of the body boat loaded with the value philosophy.
Pinisi boat from ancient times until today has been incised long story. Pinisi has been transformed into a war fleet, the ship carrying merchandise up to a yacht equipped with luxury equipment class hotels. As to whether the boat actually was born, following a bit of an overview of the process pebuatan pinisi famous boat in whitewater ocean reliable.
HISTORY Phinisi
Starting from mythology and public trust in the person who set sail from the ground Sawerigading Luwu to marry a princess named We Codai. This Sawerigading departure sailed on a ship made from a tree named Welenreng. This tree is ditempah to be the boat to be used by Sawerigading role in seafaring. However, the boat was buffeted by a storm and finally broke. Part of this boat has been destroyed then terdapar in three places, the bow and stern stranded at Lemo-Lemo. Part hull stranded in a village called Ara and screen stranded in Bira. By the three communities of this area to collect debris Sawerigading boats and their re-shape.
From this beginning of the mythology that all three of these areas has specific expertise based on the findings of the debris of the ship. Bira people are believed to get the screen someday have the sailing and navigational skills. Ara person has specific skills in the manufacture of the hull and vice versa Lemo-Lemo people more adept at making the bow and stern of the boat. These three areas are located in the District Bontobahari, Bulukumba, South Sulawesi, which was then famous as the boat maker pinisi.
In the early 18th-century sailors Bira menakhodai pinisi padewakang to the north coast of Australia for hunting down the best quality cucumbers. Padewakang capable of carrying loads up to 140 tons of rounds to collect the goods from all over the archipelago; rattan, wax, gelatin, shark fins, skins, dried meat, tortoiseshell, bird nests, and rattan mats, and sell them to merchants junks from China . Local political shocks in the 1950s, the scarcity of wood, and technological developments make motor boat faded glory Bira Peninsula. However, retainer Peninsula Bira refused to surrender.
Thomas Gibson in his book, Power King, Shaikh, and Ambtenaar-Symbolic Knowledge & Power Traditional Makassar 1300-2000 (Ininnawa Publishers, 2009), parse diaspora ship builders and the village of Ara-Lemo Lemo who left the Peninsula Bira for continuing their way of life as a courtier pinisi.
According to Gibson, retainer Lemo-Lemo village since the beginning of the 19th century began to leave the Peninsula Bira, courtier pinisi everywhere. "(While) the boat maker Ara Village (until the early 1950s remains) depend on the rich merchants in Bira ... (But) the Darul Islam rebellion (make) the boat base was closed in Bira and Bone ... The courtier (Desa Ara) started (go and) open up contacts with Chinese merchants all over Indonesia. They returned to Ara, recruit crew shipbuilders (which is then taken to a) where the buyer. At Pulau Laut, South Kalimantan, built a boat that weighs up to 600 tons, "wrote Gibson.
Gibson noted, in 1988 a colony of Ara spread in Indonesia. Starting from Jampea, Selayar, South Sulawesi; Merauke and Sorong in Papua; Kupang in East Nusa Tenggara; Ambon and Ternate in the Maluku Islands; Tarakan, Balikpapan, Slippery Rock, New City, New York, Sampit, Kuala Disposal, Kumai, and Pontianak in Kalimantan; Jakarta Surabaya; to Belitung, Palembang and Jambi in Sumatra.
Phinisi MAKING PROCESS
1. Search Process Basic Materials
Search process the wood into the manufacture of ships pinisi good day begins with a determination that is deemed profitable. Typically, this day was chosen on the day of the fifth and seventh month running. Determination of today is based on the value of philosophy is, if the fifth day then that means Naparilimai dale'na. Five in the Bugis language means the number five which also means the palm of the hand. Naparilimai dale'na can dimaknakan dale 'or sustenance expected will be zip hand. Or in other meanings are easy to find sustenance for any future use of boats will be made to seek sustenance or profit. If elected the seventh day, then that means Natujuangenggi dalle'na. Natujuang in Bugis language means intended or could also mean obtained. Natujuangenggi dalle'na give meaning to the ease in obtaining Dalle '(sustenance) or whatever the intention of the heart in what is intended is easily obtained.
2. Selection of trees or timber to be used as base material
Selection of wood also can not be done haphazardly, but with the election process with the implementation of certain rituals. Usually begins with cutting the chicken and request permission for tree-dwelling or spirits believed to inhabit the tree gives permission for the timber can be used for boat building. This cutting process must also be implemented at once, should not stop work before the tree fell. Therefore, a process that typically uses the saw cuts made by men who physically strong.
3. Cutting Lunas
Cutting the wood to be paid also has its own rules. The tip of the cut wood and can not be discarded dimanfaatkanakan sea. The tip of the delivery process is also not allowed to touch the ground until then discarded sea. Delivery ceremony is commonly called a ritual annattara. It symbolizes the part disposed men who go to sea for a living or can also be interpreted as a repellent reinforcements. The next piece of the back will be stored at home, as a symbol of a wife who awaits the arrival of her husband who was living by the sea.
4. Determination of the center of the boat
Determination of the center of the boat or are more focused on the philosophical values contained therein, which symbolizes the birth of a baby boat. Next working processes carried out by boat, commanded by a Ponggawa. Ponggawa is precisely responsible for the technical process of making boat to finish.
5. Settlement process (finshing)
The next process is to prepare the terrace and the stern of the boat into the boat body. This process begins with the installation of keel boat which was then dusul with the installation linggi linggi front and rear. It was only then if the finished boards are to be followed by installation of a boat hull Diding. Sequential bone and ivory are also fitted boats. After the installation process is complete ivory boat fitted with blocks of the wall and deck. If everything is completed following the boat room to be done. However, it should be a record in the process of manufacture and installation of some parts of the boat, also worked adhesion between the component parts of the boat. Gluing is done by using tree bark Barru and putty made of lime and coconut oil.
As it is known that the process of making the ship commanded by a retainer or people who know about boat building technically. This courtier then have the responsibility of the division of work undertaken by the pembatu or workers who are called mustard. Besides, a retainer ditutut also able to provide guidance and knowledge to the mustard as technical implementers. Mustard itself is particularly difficult to know his ability as a worker in addition to his involvement in the process of making boat to finish.
After a completed pinisi boat procession then drop ship conducted sea. Ceremonies are also held in order to drop ship.
"Bismillahir Rahmanir-Rahim BuIu bulunnako buttaya, patimbonako bosiya, kayunnako mukmamulhakim, behavior sareang Prophet Haidir" Similarly, a sentence that contains the prayers and hopes to begin shipping early pinisi boat was launched. Loss process in addition to boat out to sea accompanied by the form of prayer is also held helatan slaughter of animals (cows) as gratitude for the implementation of the manufacture of the boat.
sumber :www.kaskus.us/showthread.php?t=9890222