“Tapi
semua ini bertujuan untuk mendidik mereka agar mereka bisa mengikuti
peraturan dan tidak lagi mengulang kesalahan setelah bebas nanti.”
Dengan dinding batu batanya, penjara Chiba yang terletak tepat di luar
perbatasan kota Tokyo nampak lebih mirip seperti penjara Inggris dari
era Viktoria. Berbeda dengan penjara Inggris dan Amerika Serikat (dan
Indonesia juga) yang umumnya berisik, kotor dan penuh kekasaran fisik,
penjara Chiba lebih mirip seperti tempat peristirahatan para mantan
tentara. Koridor dan sel tahanannya bersih tanpa noda. Para tahanan
berbaris rapi di belakang penjaga dan dengan sopan membungkukkan diri
setiap sebelum masuk ruangan.
Sebanyak lebih dari 2/3 dari seluruh tahanan di Chiba dihukum karena
tindakan yang melibatkan kematian – sebagian besar adalah tindak
pembunuhan dan pembakaran. Setengah dari mereka dijatuhi hukuman penjara
seumur hidup. Rata-rata umur tahanan adalah 50 tahun. Banyak dari
mereka yang mengaku tidak pernah menggunakan telepon genggam atau kartu
kredit sebelumnya. Kunjungan suami-istri dilarang, sehingga banyak yang
terpaksa putus hubungan.
Yang unik, di dalam penjara terdapat sebuah toko yang menjual berbagai kebutuhan sehari-hari ke para tahanan mulai dari sabun, sikat gigi, shampoo sampai makanan ringan. Jika para tahanan menginginkan sesuatu seperti membeli di toko tersebut atau bertemu dengan dokter atau menulis surat untuk keluarga, mereka harus menyiapkan permintaan secara tertulis yang harus disetujui terlebih dahulu (ini disebut gansen).
Mereka juga diwajibkan untuk bekerja dalam proses produksi sepatu dan furnitur, dibawah pengawasan seorang penjaga. Pengawasan itupun tidak memerlukan senjata atau sejenisnya. Sejak akhir Perang Dunia ke II, tidak ada kerusuhan yang terjadi di Jepang. Jumlah mereka yang mencoba untuk melarikan diri dari penjara pun sangat sedikit dan obat-obatan terlarang sangat jarang ditemukan penggunaannya. Semuanya berjalan dengan tertib.
Wakil sipir, Hiroyuki Shinkai yang pernah mengunjungi penjara-penjara Inggris sebelumnya, mengaku merasa terkejut setelah melihat keadaan penjara di luar negeri. Ia pun masih bisa mengingat betapa kagetnya ia ketika waktu itu melihat beberapa tahanan berjalan kesana-kemari dan berbicara secara bebas. “Filsafat pidana di Jepang berbeda,” ucapnya menjelaskan. Di Jepang, berbicara itu dilarang, kecuali saat-saat istirahat. Pekerjaan yang tidak dibayar itu adalah sebuah tanggung jawab, bukan pilihan.”
Jumlah total orang yang dipenjara oleh Jepang jauh lebih sedikit dibandingkan di negara-negara lain: perbandingannya adalah 55 per 100.000 penduduk, dimana negara seperti Inggris memiliki jumlah tahanan sebanyak 149 dan Amerika sebanyak 716 orang per 100.000. Menteri kehakiman Jepang pun menyatakan bahwa tingkat residivisme (orang yang berulang kali keluar-masuk penjara) mereka sangat rendah.
Pengadilan-pengadilan di Jepang sudah lama mengandalkan aksi pengakuan diri sebagai ekspresi dari perasaan bersalah. Meskipun tersangka memiliki hak untuk bungkam, tapi jika dia tidak mengakui perbuatannya maka akan dianggap sebagai tindakan yang jauh lebih memalukan. Lagipula, para polisi memiliki beragam insentif untuk membuat seseorang mengakui perbuatan salahnya.
Dengan waktu 23 hari untuk pihak kepolisian menginterogasi seorang tersangka, tidak mustahil jika mereka menggunakan wewenang mereka secara semena-mena, seperti beberapa kasus yang sudah terjadi di Jepang. Beberapa detektif yang mengejar tersangka seorang hacker sempat mendapat pengakuan bersalah dari empat orang berbeda yang sebenarnya tidak bersalah. Akhirnya para detektif tersebut dipaksa untuk meminta maaf kepada publik.
Laporan Badan Pengawasan Hak Asasi Manusia pada tahun 1995 menjelaskan bahwa jenis ketertiban sosial seperti ini telah “dicapai dengan harga yang sangat tinggi”, termasuk pelanggaran hak-hak dasar manusia seperti berbicara. Orang-orang Eropa dan Amerika yang pernah dikurung dibalik jeruji Jepang sempat dikabarkan mengalami kelainan jiwa karena kehidupan di dalam penjara terlalu disiplin. Kekerasan fisik memang tidak ada, tapi kekerasan mental jelas ada.
Namun bagi Hiroyuki Shinkai, perbedaan dengan orang-orang Barat tersebut terletak pada harga diri dan moral yang dianut. “Memang benar bahwa kami terlihat keras dan ketat terhadap orang luar,” ujarnya. “Tapi semua ini bertujuan untuk mendidik mereka agar mereka bisa mengikuti peraturan dan tidak lagi mengulang kesalahan setelah bebas nanti.”
sumber
0 komentar:
Post a Comment